Astana Pakungwati
Bukti Peninggalan Dakwah Islam di
Cirebon Barat Daya
Indoesia adalah Negara yang terletak diantara 2 Benua (Benua
Asia dan Benua Australia) dan 2 Samudra (Samudra Hindia dan Samudra Pasifik)
dan berada di jalur perdagangan internasional. Hal itu membuat Indonesia
menjadi jalur perdagangan yang strategis bagi para pedagang dunia, mulai dari
pedagang Cina yang hendak ke India atau Arab, begitu pula sebaliknya, dari
India atau Arab yang hendak ke Cina. Para pedagang dunia tersebut menjadikan
Indonesia sebagai tempat transit sementara sebelum melanjutkan ke Negara tujuan
mereka. Dari sinilah Indonesia mulai terbiasa dengan kedatangan bangsa luar dan
karenanya terbiasa pula dengan budaya luar yang para pedagang bawa.
Dari proses perdagangan tersebutlah
Indonesia menerima berbagai pengaruh budaya yang masuk, bukan hanya budaya
melainkan juga agama. Salah satunya agama Islam, Islam adalah agama terakhir
yang masuk ke Indonesia, namun perkembangannya jauh lebih cepat dan luas dibanding
agama-agama sebelumnya. Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan terus
berkembang serta prosesnya lebih demokratis dari pada agama Hindu. Itulah
sebabnya pada abad ke-16 telah dapat menggeser kekuasaan Hindu (Kerajaan
Majapahit).[1] Islam
yang berkembang di Indonesia melalui beberapa bentuk, diantaranya melalui
Perdagangan, Pernikahan, Tasawuf, Pendidikan, dan Dakwah.
Melalui
jalur perdagangan, para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat memegang
peranan penting sebab disamping berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam.
Mereka mendirikan perkampungan sendiri (perkampungan pedagang muslim di negeri
asing) yang disebut Pekojan. Melalui perdagangan inilah Islam berkembang
pesat. Hal ini didukung oleh situasi Politik saat itu, ketika para bupati
pesisir berusaha untuk melepaskan diri dari kekuasaan pusat yang sedang
mengalami kekacauan dan perpecahan.[2]
Kemudian Islam menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, dimulai dari
wilayah-wilayah di tepi pantai yang dijadikan pelabuhan perdagangan sampai ke
daerah-daerah pedalaman Indonesia. Dengan masuknya Islam ke Indonesia, maka
terjadilah akulturasi budaya Islam dengan budaya setempat.
Penyebaran Islam
di Cirebon
Salah satu wilayah yang mendapat pengaruh
Islam adalah Jawa Barat. Penyebaran agama Islam di Jawa Barat dilakukan oleh seorang
wali yang bernama Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Ia menyiarkan
agama Islam mulai dari daerah tepi pantai seperti Cirebon hingga ke daerah-daerah
pedalaman, seperti ke Majalengka, Kuningan, Ciamis, Sunda Kelapa, dan Banten.[3]
Agama Islam sudah hadir di Cirebon sekitar abad ke-14 mengingat daerah ini
merupakan bagian dari kawasan pesisir utara pulau Jawa, kawasan jalur pelayaran
perdagangan yang telah dilalui dan disinggahi pedagang-pedagang dari berbagai
Negara termasuk para pedagang muslim.[4]
Jalur masuknya melalui pelabuhan-pelabuhan Cirebon seperti pelabuhan Muarajati,
dengan tokoh wali yang menyiarkannya yaitu Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan
Gunung Jati).
Dalam menyebarkan agama Islam di Cirebon,
Sunan Gunng Jati melakukan beberapa teknik atau metode. Tujuannya adalah agar
Islam dapat diterima masyarakat Cirebon tanpa adanya paksaan, karena jika agama
Islam dipaksakan maka dapat menimbulkan gejolak di masyarakat tersebut. Teknik atau
metode yang beliau lakukan adalah mengkolaborasikan atau mengakulturasikan
budaya dan kesenian setempat dengan ajaran-ajaran Islam. Kesenian yang beliau
guanakan diantaranya Sandiwara, Sintren, Tari Topeng, Pementasan Gamelan, Tradisi
Sekaten, Wayang Kulit, dan lain sebagainya. Bukan hanya melalui kesenian gerak
tubuh, melainkan juga melalui kesenian benda mati, seperti Batik, Lukisan Kaca,
Seni Kaligrafi dan lain sebagainya.
Selain media seni, dalam menyebarkan
agama Islam di Cirebon, Sunan Gunung Jati juga menggunakan strategi pernikahan.
Beliau menikahi putri beberapa tokoh ternama dan berpengaruh di Cirebon dengan
harapan masyarakat yang percaya kepada tokoh-tokoh berpengaruh tersebut dapat
ikut masuk Islam seperti panutan mereka. Wanita-wanita yang beliau nikahi
diantaranya:
1.
Nyi
Babadan (putri Ki Gedeng Babadan, penguasa asal Galuh) pada tahun 1471 M.
2.
Nyi
Kawunganten (putri adik dari bupati Banten) pada tahun 1475 M.
3.
Nyi
Mas Pakungwati Ratna Kuning (putri Tumenggung Cirebon, Pangeran Cakrabuana/Pangeran
Walangsungsang) pada tahun 1478 M.
4.
Puteri
Ong Tien Nio (putri Kaisar Cina, kaisar Yu Wang Lo) pada tahun 1481 M.
5.
Nyi
Rara Baghdad (putri saudara Syarif Abdullah, yaitu Syarif Abdurrahman/Pangeran
Panjunan).
6.
Nyi
Tepasari (putri Ki Ageng Tepasari, pembesar Majapahit).[5]
Salah satu yang paling berpengaruh di Cirebon
adalah Nyi Mas Pakungwati. Sunan Gunung Jati menikahi Nyi Mas Pakungwati selain
atas dasar taktik dakwah, juga atas dasar suka. Sunan Gunung Jati menyukai
sikap dan sifat Nyi Mas Pakungwati yang solehah. Beliau seorang penganut agama Islam
yang taat bukan dari formalitasnya saja, melainkan juga dari aplikasinya. Islam
yang tersebar di Cirebon ternyata tidak hanya dilakukan oleh Sunan Gunung Jati
saja, melainkan para istri beliau pun ikut berperan dalam dakwah Islam
tersebut. Sehingga hal ini membuat Islam berkembang dengan cepat di wilayah
Cirebon. Terbukti dengan adanya situs-situs sejarah yang berhubungan dengan
dakwah Islam. Situs-situs tersebut antar daaerah satu dengan daerah lainnya kadang
saling berhubungan.
Semakin meluasnya penyebaran Islam di
Cirebon sehingga banyak menghasilkan peninggalan-peninggalan sejarah penyebaran
Islam di Cirebon, mulai dari benda-benda, petilasan, termasuk juga
naskah-naskah kuno. Salah satu peninggalan Islam tersebut adalah Astana
Pakungwati yang terdapat di Cirebon Barat Daya, karena lokasiya yang tidak jauh
dari daerah Majalengka. Banyak pendapat mengenai tempat tersebut. Namun satu
hal yang pasti, Astana Pakungwati tersebut merupakan salah satu peninggalan
sejarah Cirebon, hal itu sesuai dengan nama dan tempatnya yang berhubungan erat
dengan Cirebon.
Sekilah tentang
Astana Pakungwati
Astana Pakungwati adalah sebuah tempat
yang dahulunya dijadikan sebagai tempat tinggal Nyi Mas Prabu Pakungwati Ratna
Kuning (putri Tumenggung Cirebon, Pangeran Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana)
sebagai tempat singgahan selama melakukan dakwah Islam sekaligus untuk
menenangkan diri dan pikirannya karena masalah dalam rumah tangga keluarganya
(cemburu dengan kehadiran Puteri Ong Tien Nio sebagai istri ke empat Sunan
Gunung Jati). Namun sekarang tempat tersebut dijadikan sebagai kompleks pemakaman
bagi beliau dan para Prajurit yang mengawalnya dulu. Astana Pakungwati tersebut
berlokasi di desa Warujaya (dahulu bernama Warugede), kecamatan Depok,
kabupaten Cirebon. Tempat ini sudah dibangun selama beratus tahun yang lalu,
karena tidak ada bukti tertulis mengenai kapan tempat tersebut dibangun, begitu
juga masyarakat sekitar yang tidak begitu mengetahui kapan tepatnya tempat
tersebut dibangun.
Astana Pakungwati tersebut berbentuk Keraton
yang terbuat dari batu bata berwarna merah seperti warna merah pada kompleks
Masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon Timur. Gaya arsitekturnya mengikuti arsitektur
yang berkembang di Keraton-Keraton Cirebon, meskipun ukurannya lebih kecil dari
Keraton-Keraton yang ada di Cirebon Timur sana. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan
pada zaman dahulu tempat tersebut digunakan sebagai tempat tinggal seseorang yang
berasal dari Keraton ataupun yang berhubungan dengan Keraton. Dan memang benar
seperti namanya, Astana Pakungwati tersebut dibuat oleh Nyi Mas Pakungwati
(istri Sunan Gunung Jati) yang masih ada hubungan dengan Keraton di Cirebon
Timur sana.
Sekilas
mengenai tokoh dibalik adanya Astana Pakungwati
Nyi Mas Prabu Pakungwati Ratna Kuning
atau yang biasa dipanggil Nyi Mas Pakungwati adalah istri ke-3 Syekh Syarif Hidayatullah
(Sunan Gunung Jati). Beliau lahir dari seorang ayah yang bernama Pangeran
Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana, putra Baduga Sri Maharaja/Prabu Siliwangi)
dan ibunya bernama Nyai Mas Endang Geulis (putri Ki Gedheng Danu Warsih dari
Pertapaan Gunung Mara Api). Dalam bahasa Cirebon Kuno, nama Pakungwati memiliki
arti udang betina, hal itu merujuk pada ciri khas Ciebon pada masa lalu hingga
sekarang, yakni udang.
Jika dlihat dari silsilah keluarga, antara
Nyi Mas Pakungwati dengan Sunan Gunung Jati masih lingkup satu keluarga, yaitu berkedudukan
sebagai sepupu. Nyi Mas Pakungwati merupakan putri kesayangan Pangeran
Cakrabuana. Beliau lahir dari keluarga terhormat, yakni dari tokoh ternama dan
berpengaruh di Cirebon sehingga banyak orang yang mengenalnya. Tetapi bukan
hanya karena kelurganya saja yang terhormat, melainkan juga karena sikap dan
perilaku beliau yang amat mulia serta beliau merupakan wanita solehah. Beliau
seorang penganut agama Islam yang taat bukan dari formalitasnya saja, melainkan
juga dari aplikasinya. Beliau juga menjadi keteladanan hidup bagi wanita pada
zaman itu. Karena hal itulah Sunan Gunung Jati menikahi beliau disamping
perintah dari pamannya (Pangeran Cakrabuana). Nyi Mas Pakungwati menikah dengan
Sunan Gunung Jati pada tahun 1478 M.
Selama menjadi istri Sunan Gunung Jati, Nyi
Mas Pakungwati tidak memiliki keturunan. Sehingga tidak ada keturunan beliau di
desa yang menjadi lokasi berdirinya Astana Pakungwati tersebut. Keturunan yang sekarang
ada di desa Waru tersebut dimungkinkan dari para para Prajurit dan abdi dalem
yang bekerja kepada beliau.
Sejarah adanya
Astana Pakungwati
Astana Pakungwati bermula dari keluarnya
Nyi Mas Pakungwati dari Keraton Pakungwati (sekarang namanya Keraton Kasepuhan)
untuk melakukan perjalanan menuju Banten dan bertemu dengan anak tirinya, Maulana
Hasanuddin. Proses perjalanan yang dilakukan Nyi Mas Pakungwati untuk
menenangkan diri dan pikirannya akibat rasa cemburu yang muncul di hatinya karena
kehadiran Puteri Ong Tien Nio sebagai istri ke empat Sunan Gunung Jati. Rasa
cemburu tersebut beliau tuangkan dalam hal positif yakni dengan melakukan
dakwah Islam ke seluruh wilayah Cirebon atau wilayah yang dilaluinya selama
melakukan perjalanan tersebut. Hal itu beliau lakukan untuk membantu suaminya
dalam menyiarkan agama Islam ke seluruh penjuru wilayah, khususnya Cirebon. Atas
kesabaran dan usahanya itulah Islam dapat berkembang ke seluruh wilayah
Cirebon, khususnya wilayah Cirebon Barat Daya yang menjadi tempat dibangunnya
Astana Pakungwati tersebut.
Pada awalnya tujuan Nyi Mas Pakungwati
keluar dari wilayah Keraton Pakungwati bukanlah untuk berdakwah, melainkan untuk
menenangkan dirinya dan mencari ketenangan. Beliau merasa cemburu dengan kehadiran
putri Ong Tien Nio di tengah-tengah rumah tangganya dengan Sunan Gunung Jati. Beliau
merasa sakit hati dan cemburu hingga akhirnya memilih untuk melakukan
perjalanan guna menemui anak tirinya di Banten, yaitu Maulana Hasanddin. Namun dalam
perjalanan tersebut beliau mulai melakukan dakwah Islam ke seluruh wilayah yang
dilaluinya, khusunya wilayah Cirebon Barat Daya dengan harapan agar rasa
cemburu tersebut hilang dengan sendirinya.
Banyak pendapat mengenai tempat tersebut.
Ada yang beranggapan Astana Pakungwati hanyalah sebuah petilasan, tetapi ada juga
yang berpendapat bahwa tempat tersebut benar-benar makam Nyi Mas Pakungwati dan
para Prajuritnya. Alasan sebagian orang beranggapan Astana Pakungwati hanyalah
sebuah petilasan adalah karena didasarkan atas cerita, bahwa dahulu ketika
kubah Masjid Agung Sang Cipta Rasa terbakar, tidak ada yang mampu memadamkannya
kecuali Nyi Mas Pakungwati dan pengawalnya, Sangga Buana.[6]
Karena peristiwa itu pula Nyi Mas Pakungwati tewas dan dikuburkan disana. Sedangkan
sebagian yang lain beranggapan bahwa Astana Pakungwati tersebut benar-benar
makam Nyi Mas Pakungwati adalah karena adanya peninggalan Nyi Mas Pakungwati di
tempat tersebut berupa bangunan Astana dan didukung dari cerita masyarakat yang
tinggal di sekitar lokasi tersebut dari dulu sampai sekarang bahwa kompleks
Astana Pakungwati adalah memang benar makam Nyi Mas Pakungwati dan para
Pengawal serta abdi dalemnya.
Sebagian masyarakat tersebut menyakini
betul bahwa Astana Pakungwati yang ada di desa Warujaya (dahulu bernama Warugede)
adalah sebuah makam dan bukan hanya petilasan. Alasan lainnya didasarkan pada
fakta cerita dari masyarakat sekitar bahwa Nyi Mas Pakungwati dahulu mengembara
untuk menenangkan pikirannya akibat rasa cemburu yang muncul ketika Sunan
Gunung Jati berpoligami dengan Puteri Ong Tien Nio. Karena kecemburuan itulah
maka beliau tuangkan dalam hal positf dengan berdakwah serta menyebarkan agama
Islam seperti yang dilakukan suaminya (Sunan Gunung Jati). Kemudian beliau membuat
suatu padepokan atau perkampungan di tengah hutan untuk beristirahat dan
menjadi tempat singgahan sementara selama melakukan dakwah tersebut.
Tujuan utama beliau melakukan perjalanan
adalah ingin pergi ke Banten dan menemui anak tirinya, Maulana Hasanuddin/Pangeran
Sabakingkin (putra Nyi Kawunganten/istri ke-2 Sunan Gunung Jati) dan mencari
ketenangan lahir batin. Namun sesampainya di Banten, beliau tidak bisa tinggal
lebih lama lagi. Nyi Mas Pakungwati diminta pulang kembali ke Cirebon oleh
Maulana Hasanuddin karena beliau belum meminta izin kepada suaminya (Sunan
Gunung Jati) untuk melakukan perjalanan tersebut. Maka Nyi Mas Pakungwati pun
pulang kembali ke Cirebon dengan perasaan sedikit kecewa. Karena merasa
khawatir akan keselamatan ibundanya selama di perjalanan, maka Maulana Hasanuddin
mengutus pengawalnya, Sangga Buana untuk menjadi pengawal Nyi Mas Pakungwati
guna melindunginya dari hal-hal yang tidak diinginkan selama di perjalanan. Mengingat
Nyi Mas Pakungwati merupakan seorang wanita, dan dalam perjalanannya tidak
ditemani oleh sang suami. Karena pada zaman dulu masih banyaknya hutan
belantara dan bahaya yang mengintai disana.
Dalam perjalanan kembali ke Cirebon itu, sebelum
sampai di Keraton Cirebon (Keraton Pakungwati), beliau singgah di sebuah pedukuhan
bernama Duku Demit (Cidemit). Beliau merasa perlu membuat suatu tempat
peristirahatan semestara sebelum kembali melanjutkan perjalananya. Maka
dipilihlah desa Waru yang menurutnya tempat tersebut asri dan tenang serta
mendukung suasana hatinya yang sedang kecewa, selain itu juga tempat tersebut
dirasa mampu menghilangkan rasa kekecewaanya selama ini. Maka beliau berencana membuat
padepokan/perkampungan di daerah tersebut dengan cara membakar hutan belantara
sampai terbentang luas.
Arah terbakarnya hutan tersebut hingga ke
arah Selatan dan Barat Daya. Dalam proses pembakaran hutan tersebut, beliau
berucap “Sampai dimanapun api ini membakar hutan belantara, maka wilayah
yang terbakar tersebut akan menjadi wilayah kekuasaanku”. Dan benar saja, wilayah
hutan belantara yang terbakar tersebut sangat luas hingga ke wilayah
Padangbenghar (kecuali Cangkoak). Karena wilayah hutan yang terbentang luas
tersebut, maka daerah tersebut diberi nama Desa Warugede, yang artinya desa
yang besar. Namun kebenaran fakta mengenai tempat tersebut hanya Tuhan yang
tau, manusia hanya bisa menerka-nerka. Hal itu disebabkan kurangnya bukti
tertulis yang ditemukan mengenai sejarah tempat bersejarah tersebut.
Setelah hutan belantara tersebut
terbakar, maka beliau mulai membersihkan sisa-sisa pembakaran dan mendirikan
suatu Astana/Keraton kecil di tempat tersebut. Astana yang beliau buat diberi
nama Astana Pakungwati, hal itu sesuai dengan namanya. Sebelum mendirikan
Astana Pakungwati, terlebih dahulu beliau meminta izin kepada Ki Raksa Guna (Ki
Gede Waru) selaku orang pertama yang memiliki desa Waru tersebut guna
mendirikan Astana Pakungwati dan oleh Ki Raksa Guna disetujui. Tempat tersebut
awalnya tidak dijadikan tempat tinggal selamanya, hanya dijadikan sebagai tempat
singgah sementara. Namun karena desa Waru tersebut dirasa lebih tenang dan
nyaman, maka beliau enggan melanjutkan kembali perjalananya untuk pulang ke
Cirebon Timur. Dan sampai akhir hayatnya pun beliau lebih memilih desa Waru/Warugede
tersebut sebagai tempat tinggalnya dan akhirnya ketika beliau wafat, beliau di
makamkan di kompleks Anstana Pakungwati tersebut. Itulah yang menjadi alasan
beliau tidak dikuburkan di kompleks pemakaman Gunung Jati. Masih karena alasan
sakit hati itu pula, beliau memilih Astana Pakungwati untuk menghabiskan sisa
umurnya.
Sunan Gunung Jati mengajak Nyi Mas
Pakungwati untuk kembali ke keraton Cirebon. Namun Nyi Mas Pakungwati masih
tetap ingin tinggal di pansanggrahan Warugede, sehingga Sunan Gunung Jati mengizinkannya
dengan memenuhi kebutuhan yang diperlukan, baik alat-alat ataupun dayang-dayang dan para wadyabala
(pajurit/bala tentara) secukupnya untuk mengawal dan menjaga keamanan. Dan hal
itu disetujui oleh Sunan Gunug Jati, karena beliau tidak ingin memaksakan
keinginan istrinya itu.[7]
Benda
atau Situs peninggalan di kompleks Astana Pakungwati
Situs atau peninggalan budaya yang ada di
kompleks makam Astana Pakungwati meliputi:
1.
Makam
Nyi Mas Pakungwati.
2.
Makam
para Ulama.
3.
Makam
para Prajurit atau Pengawal beliau.
4.
Makam
Ki Raksa Guna (Ki Gede Waru) dan istrinya, yaitu orang yang memiliki desa Waru
pertama.
5.
Makam
Ki Gede Depok dan istrinya.
6.
Makam
Pangeran Sangga Buana (pengawal yang diutus dari Banten).
7.
Makam
Lebe Waru (lebe Wayat), yaitu Lebe/Penghulu pertama dan yang menjadi cikal
bakal adanya Lebe/Penghulu sampai sekarang.
8.
Makam
Ki Suro Baratan.
9.
Makam
para abdi dalem yang mengabdi kepada Nyi Mas Pakungwati.
1-.
Masjid
Sang Raksa Sukma.
1-.
Watu
Pandan Sari, yaitu batu yang pada zaman dahulu digunakan Nyi Mas Pakungwati
sebagai tempat duduk ketika menerima tamu di luar Astana.
1-.
Bangunan
Paseban Sabda Pangestu, dahulu digunakan sebagai tempat untuk mengadakan
pertemuan besar, namun sekarang digunakan untuk acara tahilan.
1-.
Balong/Kolam
pemandian Nyi Mas Pakungwati.
1-.
Di
luar kompleks pemakaman tersebut digunakan sebagai pemakaman umum bagi
masyaraat sekitar.
Selain peninggala-peninggalan benda atau
situs sejarah di atas, masih ada peninggalan sejarah lainnya yaitu adanya 12 keris. Namun sayangnya keris-keris
tersebut dicuri oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan hanya
mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri tanpa memiliki perasaan untuk
melestarikan sejarah. Di samping kompleks makam Pakungwati terdapat Balong/Kolam
dengan kedalaman 1-1,5 meter, yang pada zaman dahulu digunakan sebagai tempat
pemandian Nyi Mas Pakungwati. Namun sayangnya Balong/Kolam tersebut sekarang
ini sudah kering, konon hanya orang-orang yang imannya kuat dan hatinya suci saja
yang mampu melihat kolam tersebut berisai air yang banyak dan penuh.
Selain itu juga terdapat Musholah di dalam
kompleks makam tersebut. Musholah itu diberi nama Sang Raksa Sukma.
Maksud dari nama tersebut adalah rasa Nyi Mas Pakungwati berada di Gunung Jati,
namun sukmanya berada di desa Waru (Astana Pakungwati). Di tembok bangunan
Paseban Sabda Pangestu terdapat silsilah keluarga Nyi Mas Pakungwati hingga ke
kakeknya, Prabu Siliwangi yang dibuat oleh kuncen yang menjaga Astana
Pakungwati tersebut. Hal itu dimaksudkan agar orang-orang yang datang untuk
berziarah mengetahui silsilah keluarga Nyi Mas Pakungwati yang berasal dari
tokoh tersohor dan berpengaruh di wilayah Jawa barat. Selain itu juga dapat
mengindikasikan bahwa memang benar, Nyi Mas Pakungwati lahir dari orang-orang
terhormat dan di muliakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Cirebon.
Terdapat pula tulisan mengenai nama-nama
leluhur Waru yang juga dibuat oleh kuncen Astana Pakungwati. Tujuannya pun
hampir sama, agar orang-orang yang berziarah ke Astana Pakungwati mengetahui
siapa saja orang-orang yang berjasa dalam pembuatan desa Waru dan penyebara
agama Islam di desa tersebut. Sehingga orang yang berziarah dapat memberikan
doa khusus kepada tokoh-tokoh tersebut. Karena tanpa tokoh-tokoh tersebut, Islam
mungkin tidak akan berkembang ke wilayah-wilayah tersebut.
Perkembangan
Astana Pakungwati
Kompleks Astana Pakungwati tersebut tidak
mengalami perubahan yang signifkan, hanya ada renovasi sedikit dibagian
atapnya. Bukan hanya masyarakat sekitar atau orang Cirebon saja yang
merenovasinya, melainkan juga dari luar Cirebon seperti Bandung, Surabaya, dan
wilayah lainnya. Di Astana Pakungwati tersebut terdapat kegiatan rutin yang
biasa dilakukan masyarakat sekitar seperti tahlilan pada malam jum’at. Lokasi
tahlian tersebut bertempat di Paseban Sabda Pangestu, sebuah bangunan yang
dibuat untuk mengadakan pertemuan besar.
Selain itu juga banyak orang yang
berziarah ke kompleks makam Astana Pakungwati tersebut dari berbagai wilayah.
Banyak maksud dari ziarah tersebut, bisa karena memang ingin berziarah dan
mendoakan orang-orang yang dikuburkan disana, meminta restu ketika hendak
mengadakan kegiatan besar seperti hajatan, hingga maksud yang dianggap tidak
baik menurut agama. Situs Astana Pakungwati menjadi salah satu situs penting
karena ia merupakan bukti sejarah dari proses penyebaran agama Islam di
Cirebon, khusunya Cirebon Barat Daya. Tempat tersebut dikelola oleh masyarakat
setempat serta orang-orang yang dengan ikhlas menjaga dan merawat tempat
tersebut dengan alasan melestarikan sejarah. Sedikitnya perhatian dari Pemerintah
setempat sehingga masyarakat sendiri yang harus merawat dan menjaganya.
Manfaat adanya
situs Astana Pakungwati bagi masyarakat sekitar
Adanya sebuah situs sejarah di lingkungan
masyarakat memiliki manfaat bagi masayarakat yang tinggal di sekitar situs
sejarah tersebut, beberapa manfaaat itu diantaranya:
1.
Masyarakat
mengetahui bagaimana desa mereka dahulu dibuat oleh para tokoh penting dan
berpengaruh pada masanya.
2.
Masyarakat
mengetahui bagaimana budaya yang mereka miliki dan agama Islam yang mereka
yakini dapat berkembang di derahnya.
3.
Masyarakat
mengetahui bagaimana perjuangan para tokoh terdahulu dalam memberikan
pencerahan kepada daerahnya, terutama dari segi agama.
4.
Dengan
adanya situs bersejarah tersebut, masyarakat mengetahui bagaimana hubungan satu
desa dengan desa lainnya, atau bahkan satu daerah dengan daerah lainnya
5.
Menjadikan
masyarakat lebih menghargai sejarah peninggalan masa lalu.
6.
Masyarakat
memiliki rasa peduli terhadap situs sejarah tersebut dan karenanya timbul rasa
ingin menjaga dan merawat situs sejarah tersebut.
7.
Masyarakat
menghargai perjuangan dan jasa para tokoh yang telah menyebarkan agama Islam
disana dan memberikan pencerahan mengenai agama Islam.
8.
Menjadikan
desa tersebut lebih dikenal masyarakat luas karena adanya situs sejarah
tersebut.
Hubungan Astana
Pakungwati dengan tempat-tempat di sekitarnya
Selain
situs Astana Pakungwati, desa Waru tersebut juga memiliki sebuah situs yang
masih ada kaitannya dengan situs Astana Pakungwati, yaitu Balong Waru (kolam di
desa Waru). Balong Waru tersebut dahulu digunakan sebagai tempat pemandian Nyi
Mas Pakungwati di luar Astana, sekaligus sebagai taman bagi beliau di luar
Astana Pakungwati. Kolam tersebut berada di sebelah Tenggara Astana Pakungwati,
dengan jarak sekitr 2-3 km dari Astana Pakungwati. Kolam tersebut tidak pernah kekeringan
ataupun kehabisan air, air dalam kolam tersebut masih terus ada dan mengalir
dari dulu hingga sekarang. Kolam tersebut juga masih memiliki bentuk asli
seperti pada saat dibuat pertama kali oleh Nyi Mas Pakungwati, tidak ada
perubahan yang signifikan, hanya ada tambahan bangunan rumah kecil di samping
kolam tersebut sebagai tempat tinggal kuncen yang menjaga tempat tersebut.
Kompleks Astana Pakungwati berlokasi di
tengah-tengah dan jauh dari keramaian. Kompleks makam Astana Pakungwati
tersebut dikelilingi oleh makam-makam yang dahulu dijadikan sebagai pos-pos
pengamanan dan penjagaan bagi Nyi Mas Pakungwati, mengingat Nyi Mas Pakungwati
merupakan seorang wanita dan dalam melakukan perjalanannya tersebut beliau
tidak ditemani oleh suamainya, Sunan Gunung Jati. Setiap pos-pos tersebut
dijaga oleh pengawal-pengawal beliau. Di sebelah Selatan terdapat makam buyut
Sikuta, pengawal yang menjaganya adalah Sangga Buana (pengawal yang diutus dari
Banten). Di sebelah Utara terdapat makam buyut Jumprit, pengawal yang
menjaganya adalah Ki Jumprit. Di sebelah Barat terdapat makam buyut Muasal,
pengawal yang menjaganya adalah Ki Muasal. Dan di sebelah Timur terdapat makam
buyut Sarabad, pengawal yang menjaganya adalah Ki Sarabad.
Selain itu juga desa-desa di sekitar desa
Waru tersebut masih memiliki sangkut paut dengan Astana Pakungwati atau Nyi Mas
Pakungwati sendiri. Sangkut paut tersebut dari segi historis dan geografisnya. Seperti
di sebelah Selatan, yaitu desa Warugede blok Kedawung. Kedawung asal katanya
dari kata Keduhung (menyesal), yaitu keduhung atau menyesalnya Nyi Mas
Pakungwati atas rasa cemburunya selama ini. Di sebelah Barat, yaitu desa Kepunduan.
Kepunduan asal katanya dari kata Pundung (marah dan kecewa), yaitu marah
dan kecewanya Nyi Mas Pakungwati terhadap poligami yang dilakukan suaminya.
Lebih juh lagi ke sebelah Selatan, ada desa Balad. Asal katanya adalah Balad=wadah
tempat menampung/berkumpul, Negara. Dahulu tempat tersebut dijadikan
sebagai tempat bertemu dan berkumpulnya para Wadyabala/bala tentara Nyi Mas
Pakungwati untuk mengadakan rapat, desa Balad juga termasuk pesanggrahan
Warugede (kekuasaan Nyi Mas Pakungwati). Dan desa-desa lain di sekitar desa
Waru mungkin juga memiliki hubungan dengan Astana Pakungwati. Hal itulah
mengapa Astana Pakungwati dengan tempat-tempat di sekitarnya memiliki hubungan
yang erat jika ditarik dari sejarahnya, mengingat lokasi Astana Pakungwati
dengan tempat-tempat tersebut tidak saling berjauhan atau dengan kata lain
saling berdekatan.
Asal-usul desa-desa disekitar desa Warugede
(Astana Pakungwati) tersebut masih memiliki sangkut paut dengan Nyi Mas
Pakungwati. Ketika sedang berada di Cidemit, pembantu Nyi Mas Pakungwati sedang
hamil tua dan akan melahirkan. Dia mencari dukun bayi maka berjalanlah arah Selatan
sampai di suatu tempat Pawongan/pembantu tadi melahirkan bayi kembar dua.
Beberapa hari tinggal di sekitar tempat itu ke arah komplek Syech Umar al-Faqih
disebut kebuyutan kramat Dukumalang. Dari kebuyutan kramat Dukumalang berjalan ke
arah Barat sambil mencari air, ada orang ditanya tetapi tidak mau mejawab malah
pergi menghindar, terus ke Utara dan menanyakan lagi dimana air/sumber air
kepada seseorang dan memberitahukan serta mengantarnya sampai ke sumber air (sumur
Balad sekarang), akhirnya Nyi Mas Pakungwati berucap kelak di tempat ini ada 7
sumber mata aiar yang tidak akan mengalami kekeringan. Perjalanan diteruskan ke
arah Barat, Utara sampai ke sebuah gubug panggung dan singgah untuk istirahat.
Dengan kehadiran Nyi Mas Pakungwati ditempat itu menjadi harum namanya (banyak
orang membicarakannya) sehingga disebut orang manggung wangi (Girinata
sekarang). Perjalanan diteruskan ke arah Timur sampai ke sungai, dia dalam
keadaan hati rundung/pundung/gundah gulana, sungai tersebut disebut sungai
Cirundung (Kepunduan sekarang) dan terus kembali ke pesanggrahan Warugede.[8]
Hubungan Astana
Pakungwati dengan Pusat dakwah di Cirebon (Gunung Sembung/Puser Bumi) dan Pusat
pemerintahan (Keraton Pakungwati)
Jika ditarik sejarahnya, Astana
Pakungwati masih memiliki hubungan dengan pusat dakwah di Cirebon (Gunung
Sembung/Puser Bumi) dan pusat pemerintahan di Keraton Pakungwati. Karena Astana
Pakungwati merupakan bagian dari sejarah dakwah yang dilakukan oleh istri Sunan
Gunug Jati (wali yang menyiarkan agama Islam di Cirebon), yaitu Nyi Mas
Pakungwati. Astana Pakungwati menjadi bukti adanya penyebaran Islam di Cirebon
Barat Daya. Jika Gunung Jati yang menjadi satu-satunya pusat dakwah di Cirebon,
maka Islam tidak akan berkembang ke wilayah-wilayah pedalaman Cirebon yang jauh
dari pusat dakwah tersebut, yang ada Islam hanya berkembang di sekitar Gunung
Jati saja. Hal itu diawali dari hubungan tokoh-tokoh nya yang berhubungan erat
dan kemudian masing-masing tokoh tersebut membuat tempat yang tujuannnya sama,
yaitu digunakan sebagai tempat untuk menyebarkan agama Islam hingga ke seluruh
wilayah, khususnya wilayah Cirebon.
Sedangkan hubungannya dengan Keraton
Pakungwati adalah kedua tempat tersebut sama-sama menggunakan nama Pakungwati,
dengan kata lain kedua tempat tersebut sama-sama ditempati Nyi Mas Pakungwati.
Hanya saja, Keraton Pakungwati didirikan oleh ayah Nyi Mas Pakungwati, yaitu
Pangeran Cakrabuana, sedangkan Astana Pakungwati didirikan oleh Nyi Mas
Pakungwati sendiri. Keraton Pakungwati ditempati Nyi Mas Pakungwati sebelum melakukan
perjalanan dan sebagai tempat tinggal beliau dengan suaminya Sunan Gunung Jati,
sedangkan Astana Pakungwati ditempati Nyi Mas Pakungwati selama melakukan
perjalanan keluar Keraton Pakungwati.
Sehingga meskipun berlokasi jauh dengan
pusat dakwah dan pemerintahan, tapi hubungan antara Astana Pakungwati dengan
Gunung Jati dan Keraton Pakungwati dapat dikatakan erat. Seerat hubungan kedua
tokoh tersebut, Nyi Mas Pakungwati dan Sunan Gunung Jati yang berkedudukan
sebagai suami-istri dan sekaligus keluarga (sepupu).
Antara Astana
Pakungwati dengan Keraton Pakungwati
Astana
Pakungwati adalah sebuah bangunan yang dibuat oleh Nyi Mas Pakungwati (putri
Pangeran Cakrabuana, yang sekaligus sebagai Istri Sunan Gunung Jati). Astana
tersebut berlokasi di Cirebon Barat Daya. Tujuan dibangunnya Astana Pakungwati
adalah sebagai tempat singgah sementara Nyi Mas Pakungwati yang sedang
melakukan perjalanan untuk menenangkan hati dan pikirannya akibat rasa cemburu
yang melanda hatinya. Namun karena lokasi Astana Pakungwati tersebut dirasa
lebih menenangkan dan mendukung suasana hatinya, maka Nyi Mas Pakungwati
memutuskan untuk tinggal di Astana Pakungwati lebih lama bahkan sampai akhir
hayatnya. Di Astana Pakungwati tersebut tidak banyak peninggalan sejarah, yang
ada hanya kompleks bangunan atau benda-benda yang tidak dapat dipindahkan
kemana-kemana.
Keraton
Pakungwati (sekarang dinamakan Keraton Kasepuhan) adalah Kerajaan Islam tempat
para pendiri Cirebon bertahta, disinilah pusat pemerintahan Kasultanan Cirebon
berdiri. Bisa dikatakan Keraton Pakungwati merupakan kerajaan Islam pertama di
tatar Sunda Pajajaran. Keraton ini merupakan keraton di Cirebon yang masih
terawat dengan baik dibanding keraton-keraton lainnya di Cirebon, seperti
keraton Kanoman dan Kacirebonan. Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap
dan berisi benda-benda pusaka seperti peralatan perang, barang-barang pecah
belah, lukisan-lukisan, dan benda-benda lainya.
Keraton Pakungwati ini didirikan oleh
Pangeran Cakrabuana/Pangeran Walangsungsang sekitar tahun 1529. Tujuan
dibangunnya Keraton tersebut adalah sebagai bentuk rasa cinta dan kasih sayang
Pangeran Cakrabuana kepada putri sulungnya, Nyi Mas Pakungwati Ratna Kuning. Maka
Keraton tersebut pun diberi nama Pakungwati sesuai dengan nama putrinya. Cikal
bakal adanya Keraton Pakungwati sendiri adalah berawal dari Dalem Agung
Pakungwati.
Antara Astana Pakungwati dengan Keraton
Pakungwati memiliki hubungan yang saling terkait. Hal iu karena tokoh dibalik
adanya kedua bangunan tersebut, yaitu Nyi Mas Pakungwati. Keraton Pakungwati
dibuat oleh Pangeran Cakrabuana sebagai bentuk rasa sayang terhadap putri sulungnya
tersebut, sekaligus dijaikan sebagai pusat pemerintahan Cirebon. Sedangkan Astana
Pakungwati dibuat oleh Nyi Mas Pakungwati sebagai tempat tinggalnya selama
menyebarkan agama Islam di Cirebon Barat Daya. Sehingga antara kedua bangunan
tersebut saling berhubungan, karena kesamaan tokoh dibalik adanya bangunan
tersebut.
Nilai yang
dapat diambil dari adanya peninggalan sejarah tersebut
1.
Jika
kecemburuan dituangkan dalam hal posif, maka akan menghasilkan kebaikan yang
bemanfaat bagi semua orang. Seperti kecemburuan Nyi Mas Pakungwati yang dituangkan
dalam dakwah Islam untuk membantu suaminya (Sunan Gunung Jati) sehingga Islam
bisa tersebar ke wilayah Cirebon Barat Daya.
2.
Semangat
menyebarkan Islam ke seluruh Cirebon meskipun diri seorang wanita yang
dipandang masyarakat sebagai makhluk yang lemah.
3.
Pelestarian
peninggalan budaya tidak harus menunggu uluran tangan pemerintah, tapi melalui
keikhlasan hati pun mampu melestarikannya.
4.
Peninggalan
informasi sejarah mampu melestarikan peninggalan budaya.
5.
Kesabaran
dalam meghadapi sebuah masalah menghasilkan kebaikan dan hal positif bagi semua
orang.
6.
Kita
sebagai masyarakat yang menikmati hasil perjuangan para tokoh Islam harusnya
lebih menghargai jasa-jasa mereka.
7.
Lebih
membuka wawasan pengetahuan kita mengenai proses penyebaran Islam di Cirebon.
Kesimpulan
Indonesia
merupakan Negara yang banyak mendapat pengaruh dari luar, mulai dari pengaruh
budaya hingga agama. Salah satu agama yang masuk dan berkembang di Indonesia
adalah Islam. Islam adalah agama terakhir yang masuk ke Indonesia, namun
penyebarannya jauh lebih cepat dan luas dibanding agama-agama sebelumnya.
Adanya pengaruh agama dan budaya tersebut karena proses perdagangan
Internasional yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara lain, atau
Indonesia menjadi tempat bertemunya para pedagang asing tersebut. Pengaruh
tersebut menimbulkan Indonesia kaya akan budaya dan tradisi yang unik hasil
dari akulturasi budaya luar dengan budaya lokal.
Melalui jalur perdagangan, para pedagang
dari Arab, Persia, dan Gujarat memegang peranan penting sebab disamping
berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam. Mereka mendirikan perkampungan
sendiri (perkampungan pedagang muslim di negeri asing) yang disebut Pekojan.
Melalui perdagangan inilah Islam berkembang pesat. Perkembangan tersebut
dimulai dari daerah pesisir pantai hingga daerah pedalaman.
Perkembangan Islam tersebut menggunakan
metode akulturasi budaya lokal dengan ajaran-ajaran Islam. Penggunaan metode-metode
tersebut agar Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia dapat diterima
dengan damai tanpa adanya gejolak di masyarakat. Para wali lah yang mencetuskan
metode-metode tersebut. Metode-metode tersebut masih berkembang sampai sekarang,
dan membutuhkan waktu lama untuk memurnikan kembali ajaran Islam sesuai yang
diajarkan Nabi Muhammad saw.
Masuk dan menyebarnya Islam di Indonesia
menghasilkan peninggalan-peninggalan budaya yang bercorak Islam seperti Masjid,
Keraton, Pusaka-pusaka, dan lain sebagainya. Peninggalan-peninggalan tersebut
kebanyakan berada di wilayah-wilayah yang dahulu dijadikan sebagai pusat-pusat
penyebaran agama Islam, seperti Cirebon dan Demak. Hingga kini,
peninggalan-peninggalan tersebut masih bisa dinikmati sampai sekarang. Hal itu
didukung oleh masyarakat yang menjaga peninggalan-peninggalan sejarah tersebut,
sehingga peninggalan-peninggalan tersebut masih terawat sampai saat ini,
meskipun banyak pula peninggalan yang tidak terwat dan akhirnya hilang entah
kemana.
Cirebon merupakan wiayah yang paling
banyak terdapat peninggalan-peninggalan sejarah bercorak Islam. Hal itu dikarenakan
dahulu para wali menjadikan Cirebon sebagai pusat penyebaran Islam, khususnya
di wilayah Jawa Barat. Setiap wali atau tokoh Islam yang menyebarkan agama
Islam di wilayah-wilayah baru pasti akan membuat suatu peninggalan, entah itu
Istana, Budaya, Artefak, Pusaka, atau Naskah-naskah kuno yang menceritakan
proses penyebaran Islam di wilayah tersebut. Salah satu peninggalan sejarah
penyebaran Islam di Cirebon Barat Daya berupa bangunan Istana, yaitu Astana
Pakungwati yang dibuat oleh Nyi Mas Pakungwati (istri Sunan Gunung Jati).
Astana Pakungwati adalah suatu tempat
perwujudan rasa cemburu seorang wanita (Nyi Mas Pakungwati) yang dituangkan
dalam hal positif, yaitu dakwah Islam sehingga Islam dapat berkembang ke
seluruh wilayah Cirebon yang jauh dari pusat dakwah Cirebon (Gunung Jati)
hingga saat ini. Astana Pakungwati berlokasi di desa Warujaya (dahulu bernama
Warugede), kecamatan Depok, kabupaten Cirebon. Tempat ini sudah dibangun selama
beratus tahun yang lalu, karena tidak ada bukti tertulis kapan tempat tersebut
dibangun, begitu juga masyarakat sekitar yang tidak begitu mengetahui kapan
tepatnya tempat tersebut dibangun. Astana Pakungwati berbentuk Keraton yang
terbuat dari batu bata yang berwarna merah seperti warna merah pada kompleks
Masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon Timur. Gaya arsitekturnya mengikuti
arsitektur yang berkembang di Keraton-Keraton Cirebon, meskipun ukurannya lebih
kecil dari Keraton-Keraton yang ada di Cirebon Timur sana.
Tokoh dibalik pembuatan Astana Pakungwati
adalah putri dari Pangeran Cakrabuana dan sekaligus istri Sunan Gunung Jati,
yaitu Nyi Mas Pakungwai Ratna Kuning, atau yang biasa dipanggil Nyi Mas
Pakungwati. Sebelumnya beliau tidak berencana untuk membangun Astana Pakungwati
tersebut, namun karena dalam setiap perjalanan dakwah selalu membutuhkan tempat
untuk beristirahat, maka beliau akhirnya membuat Astana Pakungwati dengan cara
membakar hutan belantara di desa Waru. Karena desa tersebut mendukung hatinya
menjadi lebih tenang (yang diakibatkan rasa cemburu), maka beliau merasa nyaman
dan betah tinggal di desa tersebut dan enggan untuk melanjutkan perjalanannya
kemabali ke Keraton Cirebon. Dan sampai akhir hidupnya pun beliau meninggal
disana dan dikuburkan disana pula.
Banyak manfaat yang timbul dari adaya
Asana Pakungwati tersebut. Dan yang paling besar manfaatnya bagi masyarakat
sekitar adalah mayarakat dapat mengetahui bagaimana Islam dapat berkembang di
wilayah mereka, serta siapa saja tokoh dibalik penyebaran agama Islam tersebut.
Dari peninggalan tersebut, masyarakat menjadi lebih menghargai arti sebuah
perjuangan, sehingga masyarakat dengan ikhlas menjaga dan merawat tempat
bersejarah tersebut. Hal itu dimaksudkan sebagai wujud terima kasih mereka
terhadap tokoh-tokoh yang ada di Astana Pakungwati tersebut.
Lampiran
Pintu masuk ke kompleks Astana Pakungwati
Pintu masuk ke-1 makam Nyi Mas Pakungwati
Pintu masuk ke-2 makam Nyi Mas Pakungwati
Pintu masuk
ke-3 makam Nyi Mas Pakungwati
Bangunan Paseban Sabda Pangestu
Kolam Pemandian Nyi Mas Pakungwati di depan Astana
Makam Ki Gede Waru dan Istrinya
Makam Ki Gede Depok dan Istrinya
Makam Lebe Waru (lebe Wayat)
Bangunan Pelindung Watu Pandan Sari
Watu Pandan Sari
Tokoh-tokoh yang ada hubungannya dengan Astana Pakungwati
Silsilah Keluarga Nyi Mas Pakungwati
Gapura pintu masuk Balong Waru

Balong Waru (kolam Pemandian Nyi Mas Pakungwati sekaligus sebagai taman di luar Astana Pakungwati)
Makam Lawang (yang menjaga Balong Waru)
[1] Dwi Ari
Listiyani, Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS, (Bandung: PPDPN,
2009), hal 53
[2] Ibid
[4] A. Sobana
Hardjasaputra, dkk, Cirebon dalam Lima Zaman, (Bandung: DPKP Jawa Barat, 2011),
hal. 45
[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Balad,_Dukupuntang,_Cirebon
[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Balad,_Dukupuntang,_Cirebon
maaf klu susunannya belum rapih :)
BalasHapusAlamat lengkapnya dmna ya
BalasHapus