Selasa, 26 Desember 2017

Astana Pakungwati

Astana Pakungwati
Bukti Peninggalan Dakwah Islam di Cirebon Barat Daya
     Indoesia adalah Negara yang terletak diantara 2 Benua (Benua Asia dan Benua Australia) dan 2 Samudra (Samudra Hindia dan Samudra Pasifik) dan berada di jalur perdagangan internasional. Hal itu membuat Indonesia menjadi jalur perdagangan yang strategis bagi para pedagang dunia, mulai dari pedagang Cina yang hendak ke India atau Arab, begitu pula sebaliknya, dari India atau Arab yang hendak ke Cina. Para pedagang dunia tersebut menjadikan Indonesia sebagai tempat transit sementara sebelum melanjutkan ke Negara tujuan mereka. Dari sinilah Indonesia mulai terbiasa dengan kedatangan bangsa luar dan karenanya terbiasa pula dengan budaya luar yang para pedagang bawa.
      Dari proses perdagangan tersebutlah Indonesia menerima berbagai pengaruh budaya yang masuk, bukan hanya budaya melainkan juga agama. Salah satunya agama Islam, Islam adalah agama terakhir yang masuk ke Indonesia, namun perkembangannya jauh lebih cepat dan luas dibanding agama-agama sebelumnya. Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-7 dan terus berkembang serta prosesnya lebih demokratis dari pada agama Hindu. Itulah sebabnya pada abad ke-16 telah dapat menggeser kekuasaan Hindu (Kerajaan Majapahit).[1] Islam yang berkembang di Indonesia melalui beberapa bentuk, diantaranya melalui Perdagangan, Pernikahan, Tasawuf, Pendidikan, dan Dakwah.
    Melalui jalur perdagangan, para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat memegang peranan penting sebab disamping berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam. Mereka mendirikan perkampungan sendiri (perkampungan pedagang muslim di negeri asing) yang disebut Pekojan. Melalui perdagangan inilah Islam berkembang pesat. Hal ini didukung oleh situasi Politik saat itu, ketika para bupati pesisir berusaha untuk melepaskan diri dari kekuasaan pusat yang sedang mengalami kekacauan dan perpecahan.[2] Kemudian Islam menyebar ke seluruh wilayah Indonesia, dimulai dari wilayah-wilayah di tepi pantai yang dijadikan pelabuhan perdagangan sampai ke daerah-daerah pedalaman Indonesia. Dengan masuknya Islam ke Indonesia, maka terjadilah akulturasi budaya Islam dengan budaya setempat.

Penyebaran Islam di Cirebon
      Salah satu wilayah yang mendapat pengaruh Islam adalah Jawa Barat. Penyebaran agama Islam di Jawa Barat dilakukan oleh seorang wali yang bernama Syekh Syarif Hidayatullah atau Sunan Gunung Jati. Ia menyiarkan agama Islam mulai dari daerah tepi pantai seperti Cirebon hingga ke daerah-daerah pedalaman, seperti ke Majalengka, Kuningan, Ciamis, Sunda Kelapa, dan Banten.[3] Agama Islam sudah hadir di Cirebon sekitar abad ke-14 mengingat daerah ini merupakan bagian dari kawasan pesisir utara pulau Jawa, kawasan jalur pelayaran perdagangan yang telah dilalui dan disinggahi pedagang-pedagang dari berbagai Negara termasuk para pedagang muslim.[4] Jalur masuknya melalui pelabuhan-pelabuhan Cirebon seperti pelabuhan Muarajati, dengan tokoh wali yang menyiarkannya yaitu Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
       Dalam menyebarkan agama Islam di Cirebon, Sunan Gunng Jati melakukan beberapa teknik atau metode. Tujuannya adalah agar Islam dapat diterima masyarakat Cirebon tanpa adanya paksaan, karena jika agama Islam dipaksakan maka dapat menimbulkan gejolak di masyarakat tersebut. Teknik atau metode yang beliau lakukan adalah mengkolaborasikan atau mengakulturasikan budaya dan kesenian setempat dengan ajaran-ajaran Islam. Kesenian yang beliau guanakan diantaranya Sandiwara, Sintren, Tari Topeng, Pementasan Gamelan, Tradisi Sekaten, Wayang Kulit, dan lain sebagainya. Bukan hanya melalui kesenian gerak tubuh, melainkan juga melalui kesenian benda mati, seperti Batik, Lukisan Kaca, Seni Kaligrafi dan lain sebagainya.
    Selain media seni, dalam menyebarkan agama Islam di Cirebon, Sunan Gunung Jati juga menggunakan strategi pernikahan. Beliau menikahi putri beberapa tokoh ternama dan berpengaruh di Cirebon dengan harapan masyarakat yang percaya kepada tokoh-tokoh berpengaruh tersebut dapat ikut masuk Islam seperti panutan mereka. Wanita-wanita yang beliau nikahi diantaranya:
1.      Nyi Babadan (putri Ki Gedeng Babadan, penguasa asal Galuh) pada tahun 1471 M.
2.      Nyi Kawunganten (putri adik dari bupati Banten) pada tahun 1475 M.
3.      Nyi Mas Pakungwati Ratna Kuning (putri Tumenggung Cirebon, Pangeran Cakrabuana/Pangeran Walangsungsang) pada tahun 1478 M.
4.      Puteri Ong Tien Nio (putri Kaisar Cina, kaisar Yu Wang Lo) pada tahun 1481 M.
5.      Nyi Rara Baghdad (putri saudara Syarif Abdullah, yaitu Syarif Abdurrahman/Pangeran Panjunan).
6.      Nyi Tepasari (putri Ki Ageng Tepasari, pembesar Majapahit).[5]
       Salah satu yang paling berpengaruh di Cirebon adalah Nyi Mas Pakungwati. Sunan Gunung Jati menikahi Nyi Mas Pakungwati selain atas dasar taktik dakwah, juga atas dasar suka. Sunan Gunung Jati menyukai sikap dan sifat Nyi Mas Pakungwati yang solehah. Beliau seorang penganut agama Islam yang taat bukan dari formalitasnya saja, melainkan juga dari aplikasinya. Islam yang tersebar di Cirebon ternyata tidak hanya dilakukan oleh Sunan Gunung Jati saja, melainkan para istri beliau pun ikut berperan dalam dakwah Islam tersebut. Sehingga hal ini membuat Islam berkembang dengan cepat di wilayah Cirebon. Terbukti dengan adanya situs-situs sejarah yang berhubungan dengan dakwah Islam. Situs-situs tersebut antar daaerah satu dengan daerah lainnya kadang saling berhubungan.
     Semakin meluasnya penyebaran Islam di Cirebon sehingga banyak menghasilkan peninggalan-peninggalan sejarah penyebaran Islam di Cirebon, mulai dari benda-benda, petilasan, termasuk juga naskah-naskah kuno. Salah satu peninggalan Islam tersebut adalah Astana Pakungwati yang terdapat di Cirebon Barat Daya, karena lokasiya yang tidak jauh dari daerah Majalengka. Banyak pendapat mengenai tempat tersebut. Namun satu hal yang pasti, Astana Pakungwati tersebut merupakan salah satu peninggalan sejarah Cirebon, hal itu sesuai dengan nama dan tempatnya yang berhubungan erat dengan Cirebon.

Sekilah tentang Astana Pakungwati
       Astana Pakungwati adalah sebuah tempat yang dahulunya dijadikan sebagai tempat tinggal Nyi Mas Prabu Pakungwati Ratna Kuning (putri Tumenggung Cirebon, Pangeran Walangsungsang/Pangeran Cakrabuana) sebagai tempat singgahan selama melakukan dakwah Islam sekaligus untuk menenangkan diri dan pikirannya karena masalah dalam rumah tangga keluarganya (cemburu dengan kehadiran Puteri Ong Tien Nio sebagai istri ke empat Sunan Gunung Jati). Namun sekarang tempat tersebut dijadikan sebagai kompleks pemakaman bagi beliau dan para Prajurit yang mengawalnya dulu. Astana Pakungwati tersebut berlokasi di desa Warujaya (dahulu bernama Warugede), kecamatan Depok, kabupaten Cirebon. Tempat ini sudah dibangun selama beratus tahun yang lalu, karena tidak ada bukti tertulis mengenai kapan tempat tersebut dibangun, begitu juga masyarakat sekitar yang tidak begitu mengetahui kapan tepatnya tempat tersebut dibangun.
      Astana Pakungwati tersebut berbentuk Keraton yang terbuat dari batu bata berwarna merah seperti warna merah pada kompleks Masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon Timur. Gaya arsitekturnya mengikuti arsitektur yang berkembang di Keraton-Keraton Cirebon, meskipun ukurannya lebih kecil dari Keraton-Keraton yang ada di Cirebon Timur sana. Hal ini mengindikasikan bahwa kemungkinan pada zaman dahulu tempat tersebut digunakan sebagai tempat tinggal seseorang yang berasal dari Keraton ataupun yang berhubungan dengan Keraton. Dan memang benar seperti namanya, Astana Pakungwati tersebut dibuat oleh Nyi Mas Pakungwati (istri Sunan Gunung Jati) yang masih ada hubungan dengan Keraton di Cirebon Timur sana.

Sekilas mengenai tokoh dibalik adanya Astana Pakungwati
       Nyi Mas Prabu Pakungwati Ratna Kuning atau yang biasa dipanggil Nyi Mas Pakungwati adalah istri ke-3 Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati). Beliau lahir dari seorang ayah yang bernama Pangeran Walangsungsang (Pangeran Cakrabuana, putra Baduga Sri Maharaja/Prabu Siliwangi) dan ibunya bernama Nyai Mas Endang Geulis (putri Ki Gedheng Danu Warsih dari Pertapaan Gunung Mara Api). Dalam bahasa Cirebon Kuno, nama Pakungwati memiliki arti udang betina, hal itu merujuk pada ciri khas Ciebon pada masa lalu hingga sekarang, yakni udang.
      Jika dlihat dari silsilah keluarga, antara Nyi Mas Pakungwati dengan Sunan Gunung Jati masih lingkup satu keluarga, yaitu berkedudukan sebagai sepupu. Nyi Mas Pakungwati merupakan putri kesayangan Pangeran Cakrabuana. Beliau lahir dari keluarga terhormat, yakni dari tokoh ternama dan berpengaruh di Cirebon sehingga banyak orang yang mengenalnya. Tetapi bukan hanya karena kelurganya saja yang terhormat, melainkan juga karena sikap dan perilaku beliau yang amat mulia serta beliau merupakan wanita solehah. Beliau seorang penganut agama Islam yang taat bukan dari formalitasnya saja, melainkan juga dari aplikasinya. Beliau juga menjadi keteladanan hidup bagi wanita pada zaman itu. Karena hal itulah Sunan Gunung Jati menikahi beliau disamping perintah dari pamannya (Pangeran Cakrabuana). Nyi Mas Pakungwati menikah dengan Sunan Gunung Jati pada tahun 1478 M.
     Selama menjadi istri Sunan Gunung Jati, Nyi Mas Pakungwati tidak memiliki keturunan. Sehingga tidak ada keturunan beliau di desa yang menjadi lokasi berdirinya Astana Pakungwati tersebut. Keturunan yang sekarang ada di desa Waru tersebut dimungkinkan dari para para Prajurit dan abdi dalem yang bekerja kepada beliau.

Sejarah adanya Astana Pakungwati
      Astana Pakungwati bermula dari keluarnya Nyi Mas Pakungwati dari Keraton Pakungwati (sekarang namanya Keraton Kasepuhan) untuk melakukan perjalanan menuju Banten dan bertemu dengan anak tirinya, Maulana Hasanuddin. Proses perjalanan yang dilakukan Nyi Mas Pakungwati untuk menenangkan diri dan pikirannya akibat rasa cemburu yang muncul di hatinya karena kehadiran Puteri Ong Tien Nio sebagai istri ke empat Sunan Gunung Jati. Rasa cemburu tersebut beliau tuangkan dalam hal positif yakni dengan melakukan dakwah Islam ke seluruh wilayah Cirebon atau wilayah yang dilaluinya selama melakukan perjalanan tersebut. Hal itu beliau lakukan untuk membantu suaminya dalam menyiarkan agama Islam ke seluruh penjuru wilayah, khususnya Cirebon. Atas kesabaran dan usahanya itulah Islam dapat berkembang ke seluruh wilayah Cirebon, khususnya wilayah Cirebon Barat Daya yang menjadi tempat dibangunnya Astana Pakungwati tersebut.
       Pada awalnya tujuan Nyi Mas Pakungwati keluar dari wilayah Keraton Pakungwati bukanlah untuk berdakwah, melainkan untuk menenangkan dirinya dan mencari ketenangan. Beliau merasa cemburu dengan kehadiran putri Ong Tien Nio di tengah-tengah rumah tangganya dengan Sunan Gunung Jati. Beliau merasa sakit hati dan cemburu hingga akhirnya memilih untuk melakukan perjalanan guna menemui anak tirinya di Banten, yaitu Maulana Hasanddin. Namun dalam perjalanan tersebut beliau mulai melakukan dakwah Islam ke seluruh wilayah yang dilaluinya, khusunya wilayah Cirebon Barat Daya dengan harapan agar rasa cemburu tersebut hilang dengan sendirinya.
      Banyak pendapat mengenai tempat tersebut. Ada yang beranggapan Astana Pakungwati  hanyalah sebuah petilasan, tetapi ada juga yang berpendapat bahwa tempat tersebut benar-benar makam Nyi Mas Pakungwati dan para Prajuritnya. Alasan sebagian orang beranggapan Astana Pakungwati hanyalah sebuah petilasan adalah karena didasarkan atas cerita, bahwa dahulu ketika kubah Masjid Agung Sang Cipta Rasa terbakar, tidak ada yang mampu memadamkannya kecuali Nyi Mas Pakungwati dan pengawalnya, Sangga Buana.[6] Karena peristiwa itu pula Nyi Mas Pakungwati tewas dan dikuburkan disana. Sedangkan sebagian yang lain beranggapan bahwa Astana Pakungwati tersebut benar-benar makam Nyi Mas Pakungwati adalah karena adanya peninggalan Nyi Mas Pakungwati di tempat tersebut berupa bangunan Astana dan didukung dari cerita masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi tersebut dari dulu sampai sekarang bahwa kompleks Astana Pakungwati adalah memang benar makam Nyi Mas Pakungwati dan para Pengawal serta abdi dalemnya.
    Sebagian masyarakat tersebut menyakini betul bahwa Astana Pakungwati yang ada di desa Warujaya (dahulu bernama Warugede) adalah sebuah makam dan bukan hanya petilasan. Alasan lainnya didasarkan pada fakta cerita dari masyarakat sekitar bahwa Nyi Mas Pakungwati dahulu mengembara untuk menenangkan pikirannya akibat rasa cemburu yang muncul ketika Sunan Gunung Jati berpoligami dengan Puteri Ong Tien Nio. Karena kecemburuan itulah maka beliau tuangkan dalam hal positf dengan berdakwah serta menyebarkan agama Islam seperti yang dilakukan suaminya (Sunan Gunung Jati). Kemudian beliau membuat suatu padepokan atau perkampungan di tengah hutan untuk beristirahat dan menjadi tempat singgahan sementara selama melakukan dakwah tersebut.
     Tujuan utama beliau melakukan perjalanan adalah ingin pergi ke Banten dan menemui anak tirinya, Maulana Hasanuddin/Pangeran Sabakingkin (putra Nyi Kawunganten/istri ke-2 Sunan Gunung Jati) dan mencari ketenangan lahir batin. Namun sesampainya di Banten, beliau tidak bisa tinggal lebih lama lagi. Nyi Mas Pakungwati diminta pulang kembali ke Cirebon oleh Maulana Hasanuddin karena beliau belum meminta izin kepada suaminya (Sunan Gunung Jati) untuk melakukan perjalanan tersebut. Maka Nyi Mas Pakungwati pun pulang kembali ke Cirebon dengan perasaan sedikit kecewa. Karena merasa khawatir akan keselamatan ibundanya selama di perjalanan, maka Maulana Hasanuddin mengutus pengawalnya, Sangga Buana untuk menjadi pengawal Nyi Mas Pakungwati guna melindunginya dari hal-hal yang tidak diinginkan selama di perjalanan. Mengingat Nyi Mas Pakungwati merupakan seorang wanita, dan dalam perjalanannya tidak ditemani oleh sang suami. Karena pada zaman dulu masih banyaknya hutan belantara dan bahaya yang mengintai disana.
     Dalam perjalanan kembali ke Cirebon itu, sebelum sampai di Keraton Cirebon (Keraton Pakungwati), beliau singgah di sebuah pedukuhan bernama Duku Demit (Cidemit). Beliau merasa perlu membuat suatu tempat peristirahatan semestara sebelum kembali melanjutkan perjalananya. Maka dipilihlah desa Waru yang menurutnya tempat tersebut asri dan tenang serta mendukung suasana hatinya yang sedang kecewa, selain itu juga tempat tersebut dirasa mampu menghilangkan rasa kekecewaanya selama ini. Maka beliau berencana membuat padepokan/perkampungan di daerah tersebut dengan cara membakar hutan belantara sampai terbentang luas.
     Arah terbakarnya hutan tersebut hingga ke arah Selatan dan Barat Daya. Dalam proses pembakaran hutan tersebut, beliau berucap “Sampai dimanapun api ini membakar hutan belantara, maka wilayah yang terbakar tersebut akan menjadi wilayah kekuasaanku”. Dan benar saja, wilayah hutan belantara yang terbakar tersebut sangat luas hingga ke wilayah Padangbenghar (kecuali Cangkoak). Karena wilayah hutan yang terbentang luas tersebut, maka daerah tersebut diberi nama Desa Warugede, yang artinya desa yang besar. Namun kebenaran fakta mengenai tempat tersebut hanya Tuhan yang tau, manusia hanya bisa menerka-nerka. Hal itu disebabkan kurangnya bukti tertulis yang ditemukan mengenai sejarah tempat bersejarah tersebut.
       Setelah hutan belantara tersebut terbakar, maka beliau mulai membersihkan sisa-sisa pembakaran dan mendirikan suatu Astana/Keraton kecil di tempat tersebut. Astana yang beliau buat diberi nama Astana Pakungwati, hal itu sesuai dengan namanya. Sebelum mendirikan Astana Pakungwati, terlebih dahulu beliau meminta izin kepada Ki Raksa Guna (Ki Gede Waru) selaku orang pertama yang memiliki desa Waru tersebut guna mendirikan Astana Pakungwati dan oleh Ki Raksa Guna disetujui. Tempat tersebut awalnya tidak dijadikan tempat tinggal selamanya, hanya dijadikan sebagai tempat singgah sementara. Namun karena desa Waru tersebut dirasa lebih tenang dan nyaman, maka beliau enggan melanjutkan kembali perjalananya untuk pulang ke Cirebon Timur. Dan sampai akhir hayatnya pun beliau lebih memilih desa Waru/Warugede tersebut sebagai tempat tinggalnya dan akhirnya ketika beliau wafat, beliau di makamkan di kompleks Anstana Pakungwati tersebut. Itulah yang menjadi alasan beliau tidak dikuburkan di kompleks pemakaman Gunung Jati. Masih karena alasan sakit hati itu pula, beliau memilih Astana Pakungwati untuk menghabiskan sisa umurnya.
      Sunan Gunung Jati mengajak Nyi Mas Pakungwati untuk kembali ke keraton Cirebon. Namun Nyi Mas Pakungwati masih tetap ingin tinggal di pansanggrahan Warugede, sehingga Sunan Gunung Jati mengizinkannya dengan memenuhi kebutuhan yang diperlukan, baik alat-alat ataupun  dayang-dayang dan para wadyabala (pajurit/bala tentara) secukupnya untuk mengawal dan menjaga keamanan. Dan hal itu disetujui oleh Sunan Gunug Jati, karena beliau tidak ingin memaksakan keinginan istrinya itu.[7]

Benda atau Situs peninggalan di kompleks Astana Pakungwati
       Situs atau peninggalan budaya yang ada di kompleks makam Astana Pakungwati meliputi:
1.      Makam Nyi Mas Pakungwati.
2.      Makam para Ulama.
3.      Makam para Prajurit atau Pengawal beliau.
4.      Makam Ki Raksa Guna (Ki Gede Waru) dan istrinya, yaitu orang yang memiliki desa Waru pertama.
5.      Makam Ki Gede Depok dan istrinya.
6.      Makam Pangeran Sangga Buana (pengawal yang diutus dari Banten).
7.      Makam Lebe Waru (lebe Wayat), yaitu Lebe/Penghulu pertama dan yang menjadi cikal bakal adanya Lebe/Penghulu sampai sekarang.
8.      Makam Ki Suro Baratan.
9.      Makam para abdi dalem yang mengabdi kepada Nyi Mas Pakungwati.
1-.  Masjid Sang Raksa Sukma.
1-.  Watu Pandan Sari, yaitu batu yang pada zaman dahulu digunakan Nyi Mas Pakungwati sebagai tempat duduk ketika menerima tamu di luar Astana.
1-.  Bangunan Paseban Sabda Pangestu, dahulu digunakan sebagai tempat untuk mengadakan pertemuan besar, namun sekarang digunakan untuk acara tahilan.
1-.  Balong/Kolam pemandian Nyi Mas Pakungwati.
1-.  Di luar kompleks pemakaman tersebut digunakan sebagai pemakaman umum bagi masyaraat sekitar.
       Selain peninggala-peninggalan benda atau situs sejarah di atas, masih ada peninggalan sejarah lainnya yaitu  adanya 12 keris. Namun sayangnya keris-keris tersebut dicuri oleh orang-orang yang tidak bertanggungjawab dan hanya mengambil keuntungan untuk dirinya sendiri tanpa memiliki perasaan untuk melestarikan sejarah. Di samping kompleks makam Pakungwati terdapat Balong/Kolam dengan kedalaman 1-1,5 meter, yang pada zaman dahulu digunakan sebagai tempat pemandian Nyi Mas Pakungwati. Namun sayangnya Balong/Kolam tersebut sekarang ini sudah kering, konon hanya orang-orang yang imannya kuat dan hatinya suci saja yang mampu melihat kolam tersebut berisai air yang banyak dan penuh.
       Selain itu juga terdapat Musholah di dalam kompleks makam tersebut. Musholah itu diberi nama Sang Raksa Sukma. Maksud dari nama tersebut adalah rasa Nyi Mas Pakungwati berada di Gunung Jati, namun sukmanya berada di desa Waru (Astana Pakungwati). Di tembok bangunan Paseban Sabda Pangestu terdapat silsilah keluarga Nyi Mas Pakungwati hingga ke kakeknya, Prabu Siliwangi yang dibuat oleh kuncen yang menjaga Astana Pakungwati tersebut. Hal itu dimaksudkan agar orang-orang yang datang untuk berziarah mengetahui silsilah keluarga Nyi Mas Pakungwati yang berasal dari tokoh tersohor dan berpengaruh di wilayah Jawa barat. Selain itu juga dapat mengindikasikan bahwa memang benar, Nyi Mas Pakungwati lahir dari orang-orang terhormat dan di muliakan oleh masyarakat, khususnya masyarakat Cirebon.
       Terdapat pula tulisan mengenai nama-nama leluhur Waru yang juga dibuat oleh kuncen Astana Pakungwati. Tujuannya pun hampir sama, agar orang-orang yang berziarah ke Astana Pakungwati mengetahui siapa saja orang-orang yang berjasa dalam pembuatan desa Waru dan penyebara agama Islam di desa tersebut. Sehingga orang yang berziarah dapat memberikan doa khusus kepada tokoh-tokoh tersebut. Karena tanpa tokoh-tokoh tersebut, Islam mungkin tidak akan berkembang ke wilayah-wilayah  tersebut.

Perkembangan Astana Pakungwati
       Kompleks Astana Pakungwati tersebut tidak mengalami perubahan yang signifkan, hanya ada renovasi sedikit dibagian atapnya. Bukan hanya masyarakat sekitar atau orang Cirebon saja yang merenovasinya, melainkan juga dari luar Cirebon seperti Bandung, Surabaya, dan wilayah lainnya. Di Astana Pakungwati tersebut terdapat kegiatan rutin yang biasa dilakukan masyarakat sekitar seperti tahlilan pada malam jum’at. Lokasi tahlian tersebut bertempat di Paseban Sabda Pangestu, sebuah bangunan yang dibuat untuk mengadakan pertemuan besar.
       Selain itu juga banyak orang yang berziarah ke kompleks makam Astana Pakungwati tersebut dari berbagai wilayah. Banyak maksud dari ziarah tersebut, bisa karena memang ingin berziarah dan mendoakan orang-orang yang dikuburkan disana, meminta restu ketika hendak mengadakan kegiatan besar seperti hajatan, hingga maksud yang dianggap tidak baik menurut agama. Situs Astana Pakungwati menjadi salah satu situs penting karena ia merupakan bukti sejarah dari proses penyebaran agama Islam di Cirebon, khusunya Cirebon Barat Daya. Tempat tersebut dikelola oleh masyarakat setempat serta orang-orang yang dengan ikhlas menjaga dan merawat tempat tersebut dengan alasan melestarikan sejarah. Sedikitnya perhatian dari Pemerintah setempat sehingga masyarakat sendiri yang harus merawat dan menjaganya.

Manfaat adanya situs Astana Pakungwati bagi masyarakat sekitar
       Adanya sebuah situs sejarah di lingkungan masyarakat memiliki manfaat bagi masayarakat yang tinggal di sekitar situs sejarah tersebut, beberapa manfaaat itu diantaranya:
1.      Masyarakat mengetahui bagaimana desa mereka dahulu dibuat oleh para tokoh penting dan berpengaruh pada masanya.
2.      Masyarakat mengetahui bagaimana budaya yang mereka miliki dan agama Islam yang mereka yakini dapat berkembang di derahnya.
3.      Masyarakat mengetahui bagaimana perjuangan para tokoh terdahulu dalam memberikan pencerahan kepada daerahnya, terutama dari segi agama.
4.      Dengan adanya situs bersejarah tersebut, masyarakat mengetahui bagaimana hubungan satu desa dengan desa lainnya, atau bahkan satu daerah dengan daerah lainnya
5.      Menjadikan masyarakat lebih menghargai sejarah peninggalan masa lalu.
6.      Masyarakat memiliki rasa peduli terhadap situs sejarah tersebut dan karenanya timbul rasa ingin menjaga dan merawat situs sejarah tersebut.
7.      Masyarakat menghargai perjuangan dan jasa para tokoh yang telah menyebarkan agama Islam disana dan memberikan pencerahan mengenai agama Islam.
8.      Menjadikan desa tersebut lebih dikenal masyarakat luas karena adanya situs sejarah tersebut.

Hubungan Astana Pakungwati dengan tempat-tempat di sekitarnya
       Selain situs Astana Pakungwati, desa Waru tersebut juga memiliki sebuah situs yang masih ada kaitannya dengan situs Astana Pakungwati, yaitu Balong Waru (kolam di desa Waru). Balong Waru tersebut dahulu digunakan sebagai tempat pemandian Nyi Mas Pakungwati di luar Astana, sekaligus sebagai taman bagi beliau di luar Astana Pakungwati. Kolam tersebut berada di sebelah Tenggara Astana Pakungwati, dengan jarak sekitr 2-3 km dari Astana Pakungwati. Kolam tersebut tidak pernah kekeringan ataupun kehabisan air, air dalam kolam tersebut masih terus ada dan mengalir dari dulu hingga sekarang. Kolam tersebut juga masih memiliki bentuk asli seperti pada saat dibuat pertama kali oleh Nyi Mas Pakungwati, tidak ada perubahan yang signifikan, hanya ada tambahan bangunan rumah kecil di samping kolam tersebut sebagai tempat tinggal kuncen yang menjaga tempat tersebut.
       Kompleks Astana Pakungwati berlokasi di tengah-tengah dan jauh dari keramaian. Kompleks makam Astana Pakungwati tersebut dikelilingi oleh makam-makam yang dahulu dijadikan sebagai pos-pos pengamanan dan penjagaan bagi Nyi Mas Pakungwati, mengingat Nyi Mas Pakungwati merupakan seorang wanita dan dalam melakukan perjalanannya tersebut beliau tidak ditemani oleh suamainya, Sunan Gunung Jati. Setiap pos-pos tersebut dijaga oleh pengawal-pengawal beliau. Di sebelah Selatan terdapat makam buyut Sikuta, pengawal yang menjaganya adalah Sangga Buana (pengawal yang diutus dari Banten). Di sebelah Utara terdapat makam buyut Jumprit, pengawal yang menjaganya adalah Ki Jumprit. Di sebelah Barat terdapat makam buyut Muasal, pengawal yang menjaganya adalah Ki Muasal. Dan di sebelah Timur terdapat makam buyut Sarabad, pengawal yang menjaganya adalah Ki Sarabad.
       Selain itu juga desa-desa di sekitar desa Waru tersebut masih memiliki sangkut paut dengan Astana Pakungwati atau Nyi Mas Pakungwati sendiri. Sangkut paut tersebut dari segi historis dan geografisnya. Seperti di sebelah Selatan, yaitu desa Warugede blok Kedawung. Kedawung asal katanya dari kata Keduhung (menyesal), yaitu keduhung atau menyesalnya Nyi Mas Pakungwati atas rasa cemburunya selama ini. Di sebelah Barat, yaitu desa Kepunduan. Kepunduan asal katanya dari kata Pundung (marah dan kecewa), yaitu marah dan kecewanya Nyi Mas Pakungwati terhadap poligami yang dilakukan suaminya. Lebih juh lagi ke sebelah Selatan, ada desa Balad. Asal katanya adalah Balad=wadah tempat menampung/berkumpul, Negara. Dahulu tempat tersebut dijadikan sebagai tempat bertemu dan berkumpulnya para Wadyabala/bala tentara Nyi Mas Pakungwati untuk mengadakan rapat, desa Balad juga termasuk pesanggrahan Warugede (kekuasaan Nyi Mas Pakungwati). Dan desa-desa lain di sekitar desa Waru mungkin juga memiliki hubungan dengan Astana Pakungwati. Hal itulah mengapa Astana Pakungwati dengan tempat-tempat di sekitarnya memiliki hubungan yang erat jika ditarik dari sejarahnya, mengingat lokasi Astana Pakungwati dengan tempat-tempat tersebut tidak saling berjauhan atau dengan kata lain saling berdekatan.
       Asal-usul desa-desa disekitar desa Warugede (Astana Pakungwati) tersebut masih memiliki sangkut paut dengan Nyi Mas Pakungwati. Ketika sedang berada di Cidemit, pembantu Nyi Mas Pakungwati sedang hamil tua dan akan melahirkan. Dia mencari dukun bayi maka berjalanlah arah Selatan sampai di suatu tempat Pawongan/pembantu tadi melahirkan bayi kembar dua. Beberapa hari tinggal di sekitar tempat itu ke arah komplek Syech Umar al-Faqih disebut kebuyutan kramat Dukumalang. Dari kebuyutan kramat Dukumalang berjalan ke arah Barat sambil mencari air, ada orang ditanya tetapi tidak mau mejawab malah pergi menghindar, terus ke Utara dan menanyakan lagi dimana air/sumber air kepada seseorang dan memberitahukan serta mengantarnya sampai ke sumber air (sumur Balad sekarang), akhirnya Nyi Mas Pakungwati berucap kelak di tempat ini ada 7 sumber mata aiar yang tidak akan mengalami kekeringan. Perjalanan diteruskan ke arah Barat, Utara sampai ke sebuah gubug panggung dan singgah untuk istirahat. Dengan kehadiran Nyi Mas Pakungwati ditempat itu menjadi harum namanya (banyak orang membicarakannya) sehingga disebut orang manggung wangi (Girinata sekarang). Perjalanan diteruskan ke arah Timur sampai ke sungai, dia dalam keadaan hati rundung/pundung/gundah gulana, sungai tersebut disebut sungai Cirundung (Kepunduan sekarang) dan terus kembali ke pesanggrahan Warugede.[8]

Hubungan Astana Pakungwati dengan Pusat dakwah di Cirebon (Gunung Sembung/Puser Bumi) dan Pusat pemerintahan (Keraton Pakungwati)
       Jika ditarik sejarahnya, Astana Pakungwati masih memiliki hubungan dengan pusat dakwah di Cirebon (Gunung Sembung/Puser Bumi) dan pusat pemerintahan di Keraton Pakungwati. Karena Astana Pakungwati merupakan bagian dari sejarah dakwah yang dilakukan oleh istri Sunan Gunug Jati (wali yang menyiarkan agama Islam di Cirebon), yaitu Nyi Mas Pakungwati. Astana Pakungwati menjadi bukti adanya penyebaran Islam di Cirebon Barat Daya. Jika Gunung Jati yang menjadi satu-satunya pusat dakwah di Cirebon, maka Islam tidak akan berkembang ke wilayah-wilayah pedalaman Cirebon yang jauh dari pusat dakwah tersebut, yang ada Islam hanya berkembang di sekitar Gunung Jati saja. Hal itu diawali dari hubungan tokoh-tokoh nya yang berhubungan erat dan kemudian masing-masing tokoh tersebut membuat tempat yang tujuannnya sama, yaitu digunakan sebagai tempat untuk menyebarkan agama Islam hingga ke seluruh wilayah, khususnya wilayah Cirebon.
       Sedangkan hubungannya dengan Keraton Pakungwati adalah kedua tempat tersebut sama-sama menggunakan nama Pakungwati, dengan kata lain kedua tempat tersebut sama-sama ditempati Nyi Mas Pakungwati. Hanya saja, Keraton Pakungwati didirikan oleh ayah Nyi Mas Pakungwati, yaitu Pangeran Cakrabuana, sedangkan Astana Pakungwati didirikan oleh Nyi Mas Pakungwati sendiri. Keraton Pakungwati ditempati Nyi Mas Pakungwati sebelum melakukan perjalanan dan sebagai tempat tinggal beliau dengan suaminya Sunan Gunung Jati, sedangkan Astana Pakungwati ditempati Nyi Mas Pakungwati selama melakukan perjalanan keluar Keraton Pakungwati.
       Sehingga meskipun berlokasi jauh dengan pusat dakwah dan pemerintahan, tapi hubungan antara Astana Pakungwati dengan Gunung Jati dan Keraton Pakungwati dapat dikatakan erat. Seerat hubungan kedua tokoh tersebut, Nyi Mas Pakungwati dan Sunan Gunung Jati yang berkedudukan sebagai suami-istri dan sekaligus keluarga (sepupu).

Antara Astana Pakungwati dengan Keraton Pakungwati
      Astana Pakungwati adalah sebuah bangunan yang dibuat oleh Nyi Mas Pakungwati (putri Pangeran Cakrabuana, yang sekaligus sebagai Istri Sunan Gunung Jati). Astana tersebut berlokasi di Cirebon Barat Daya. Tujuan dibangunnya Astana Pakungwati adalah sebagai tempat singgah sementara Nyi Mas Pakungwati yang sedang melakukan perjalanan untuk menenangkan hati dan pikirannya akibat rasa cemburu yang melanda hatinya. Namun karena lokasi Astana Pakungwati tersebut dirasa lebih menenangkan dan mendukung suasana hatinya, maka Nyi Mas Pakungwati memutuskan untuk tinggal di Astana Pakungwati lebih lama bahkan sampai akhir hayatnya. Di Astana Pakungwati tersebut tidak banyak peninggalan sejarah, yang ada hanya kompleks bangunan atau benda-benda yang tidak dapat dipindahkan kemana-kemana.
       Keraton Pakungwati (sekarang dinamakan Keraton Kasepuhan) adalah Kerajaan Islam tempat para pendiri Cirebon bertahta, disinilah pusat pemerintahan Kasultanan Cirebon berdiri. Bisa dikatakan Keraton Pakungwati merupakan kerajaan Islam pertama di tatar Sunda Pajajaran. Keraton ini merupakan keraton di Cirebon yang masih terawat dengan baik dibanding keraton-keraton lainnya di Cirebon, seperti keraton Kanoman dan Kacirebonan. Keraton ini memiliki museum yang cukup lengkap dan berisi benda-benda pusaka seperti peralatan perang, barang-barang pecah belah, lukisan-lukisan, dan benda-benda lainya.
       Keraton Pakungwati ini didirikan oleh Pangeran Cakrabuana/Pangeran Walangsungsang sekitar tahun 1529. Tujuan dibangunnya Keraton tersebut adalah sebagai bentuk rasa cinta dan kasih sayang Pangeran Cakrabuana kepada putri sulungnya, Nyi Mas Pakungwati Ratna Kuning. Maka Keraton tersebut pun diberi nama Pakungwati sesuai dengan nama putrinya. Cikal bakal adanya Keraton Pakungwati sendiri adalah berawal dari Dalem Agung Pakungwati.
       Antara Astana Pakungwati dengan Keraton Pakungwati memiliki hubungan yang saling terkait. Hal iu karena tokoh dibalik adanya kedua bangunan tersebut, yaitu Nyi Mas Pakungwati. Keraton Pakungwati dibuat oleh Pangeran Cakrabuana sebagai bentuk rasa sayang terhadap putri sulungnya tersebut, sekaligus dijaikan sebagai pusat pemerintahan Cirebon. Sedangkan Astana Pakungwati dibuat oleh Nyi Mas Pakungwati sebagai tempat tinggalnya selama menyebarkan agama Islam di Cirebon Barat Daya. Sehingga antara kedua bangunan tersebut saling berhubungan, karena kesamaan tokoh dibalik adanya bangunan tersebut.

Nilai yang dapat diambil dari adanya peninggalan sejarah tersebut
1.      Jika kecemburuan dituangkan dalam hal posif, maka akan menghasilkan kebaikan yang bemanfaat bagi semua orang. Seperti kecemburuan Nyi Mas Pakungwati yang dituangkan dalam dakwah Islam untuk membantu suaminya (Sunan Gunung Jati) sehingga Islam bisa tersebar ke wilayah Cirebon Barat Daya.
2.      Semangat menyebarkan Islam ke seluruh Cirebon meskipun diri seorang wanita yang dipandang masyarakat sebagai makhluk yang lemah.
3.      Pelestarian peninggalan budaya tidak harus menunggu uluran tangan pemerintah, tapi melalui keikhlasan hati pun mampu melestarikannya.
4.      Peninggalan informasi sejarah mampu melestarikan peninggalan budaya.
5.      Kesabaran dalam meghadapi sebuah masalah menghasilkan kebaikan dan hal positif bagi semua orang.
6.      Kita sebagai masyarakat yang menikmati hasil perjuangan para tokoh Islam harusnya lebih menghargai jasa-jasa mereka.
7.      Lebih membuka wawasan pengetahuan kita mengenai proses penyebaran Islam di Cirebon.


Kesimpulan
       Indonesia merupakan Negara yang banyak mendapat pengaruh dari luar, mulai dari pengaruh budaya hingga agama. Salah satu agama yang masuk dan berkembang di Indonesia adalah Islam. Islam adalah agama terakhir yang masuk ke Indonesia, namun penyebarannya jauh lebih cepat dan luas dibanding agama-agama sebelumnya. Adanya pengaruh agama dan budaya tersebut karena proses perdagangan Internasional yang dilakukan Indonesia dengan negara-negara lain, atau Indonesia menjadi tempat bertemunya para pedagang asing tersebut. Pengaruh tersebut menimbulkan Indonesia kaya akan budaya dan tradisi yang unik hasil dari akulturasi budaya luar dengan budaya lokal.
       Melalui jalur perdagangan, para pedagang dari Arab, Persia, dan Gujarat memegang peranan penting sebab disamping berdagang, mereka juga menyebarkan agama Islam. Mereka mendirikan perkampungan sendiri (perkampungan pedagang muslim di negeri asing) yang disebut Pekojan. Melalui perdagangan inilah Islam berkembang pesat. Perkembangan tersebut dimulai dari daerah pesisir pantai hingga daerah pedalaman.
       Perkembangan Islam tersebut menggunakan metode akulturasi budaya lokal dengan ajaran-ajaran Islam. Penggunaan metode-metode tersebut agar Islam yang masuk dan berkembang di Indonesia dapat diterima dengan damai tanpa adanya gejolak di masyarakat. Para wali lah yang mencetuskan metode-metode tersebut. Metode-metode tersebut masih berkembang sampai sekarang, dan membutuhkan waktu lama untuk memurnikan kembali ajaran Islam sesuai yang diajarkan Nabi Muhammad saw.
       Masuk dan menyebarnya Islam di Indonesia menghasilkan peninggalan-peninggalan budaya yang bercorak Islam seperti Masjid, Keraton, Pusaka-pusaka, dan lain sebagainya. Peninggalan-peninggalan tersebut kebanyakan berada di wilayah-wilayah yang dahulu dijadikan sebagai pusat-pusat penyebaran agama Islam, seperti Cirebon dan Demak. Hingga kini, peninggalan-peninggalan tersebut masih bisa dinikmati sampai sekarang. Hal itu didukung oleh masyarakat yang menjaga peninggalan-peninggalan sejarah tersebut, sehingga peninggalan-peninggalan tersebut masih terawat sampai saat ini, meskipun banyak pula peninggalan yang tidak terwat dan akhirnya hilang entah kemana.
       Cirebon merupakan wiayah yang paling banyak terdapat peninggalan-peninggalan sejarah bercorak Islam. Hal itu dikarenakan dahulu para wali menjadikan Cirebon sebagai pusat penyebaran Islam, khususnya di wilayah Jawa Barat. Setiap wali atau tokoh Islam yang menyebarkan agama Islam di wilayah-wilayah baru pasti akan membuat suatu peninggalan, entah itu Istana, Budaya, Artefak, Pusaka, atau Naskah-naskah kuno yang menceritakan proses penyebaran Islam di wilayah tersebut. Salah satu peninggalan sejarah penyebaran Islam di Cirebon Barat Daya berupa bangunan Istana, yaitu Astana Pakungwati yang dibuat oleh Nyi Mas Pakungwati (istri Sunan Gunung Jati).
       Astana Pakungwati adalah suatu tempat perwujudan rasa cemburu seorang wanita (Nyi Mas Pakungwati) yang dituangkan dalam hal positif, yaitu dakwah Islam sehingga Islam dapat berkembang ke seluruh wilayah Cirebon yang jauh dari pusat dakwah Cirebon (Gunung Jati) hingga saat ini. Astana Pakungwati berlokasi di desa Warujaya (dahulu bernama Warugede), kecamatan Depok, kabupaten Cirebon. Tempat ini sudah dibangun selama beratus tahun yang lalu, karena tidak ada bukti tertulis kapan tempat tersebut dibangun, begitu juga masyarakat sekitar yang tidak begitu mengetahui kapan tepatnya tempat tersebut dibangun. Astana Pakungwati berbentuk Keraton yang terbuat dari batu bata yang berwarna merah seperti warna merah pada kompleks Masjid Sang Cipta Rasa di Cirebon Timur. Gaya arsitekturnya mengikuti arsitektur yang berkembang di Keraton-Keraton Cirebon, meskipun ukurannya lebih kecil dari Keraton-Keraton yang ada di Cirebon Timur sana.
       Tokoh dibalik pembuatan Astana Pakungwati adalah putri dari Pangeran Cakrabuana dan sekaligus istri Sunan Gunung Jati, yaitu Nyi Mas Pakungwai Ratna Kuning, atau yang biasa dipanggil Nyi Mas Pakungwati. Sebelumnya beliau tidak berencana untuk membangun Astana Pakungwati tersebut, namun karena dalam setiap perjalanan dakwah selalu membutuhkan tempat untuk beristirahat, maka beliau akhirnya membuat Astana Pakungwati dengan cara membakar hutan belantara di desa Waru. Karena desa tersebut mendukung hatinya menjadi lebih tenang (yang diakibatkan rasa cemburu), maka beliau merasa nyaman dan betah tinggal di desa tersebut dan enggan untuk melanjutkan perjalanannya kemabali ke Keraton Cirebon. Dan sampai akhir hidupnya pun beliau meninggal disana dan dikuburkan disana pula.
       Banyak manfaat yang timbul dari adaya Asana Pakungwati tersebut. Dan yang paling besar manfaatnya bagi masyarakat sekitar adalah mayarakat dapat mengetahui bagaimana Islam dapat berkembang di wilayah mereka, serta siapa saja tokoh dibalik penyebaran agama Islam tersebut. Dari peninggalan tersebut, masyarakat menjadi lebih menghargai arti sebuah perjuangan, sehingga masyarakat dengan ikhlas menjaga dan merawat tempat bersejarah tersebut. Hal itu dimaksudkan sebagai wujud terima kasih mereka terhadap tokoh-tokoh yang ada di Astana Pakungwati tersebut.


Lampiran
Pintu masuk ke kompleks Astana Pakungwati

Pintu masuk ke-1  makam Nyi Mas Pakungwati
            
     Pintu masuk ke-2 makam Nyi Mas Pakungwati     


Pintu masuk ke-3 makam Nyi Mas Pakungwati


            
Bangunan Paseban Sabda Pangestu


                                   Kolam Pemandian Nyi Mas Pakungwati di depan Astana                                        

    Makam Sangga Buana (Pengawal yang diutus dari Banten)


Makam Ki Gede Waru dan Istrinya
Makam Ki Gede Depok dan Istrinya


Makam Lebe Waru (lebe Wayat)


 Bangunan Pelindung Watu Pandan Sari

   
Watu Pandan Sari


Tokoh-tokoh yang ada hubungannya dengan Astana Pakungwati



          Silsilah Keluarga Nyi Mas Pakungwati        


Gapura pintu masuk Balong Waru




  Balong Waru (kolam Pemandian Nyi Mas Pakungwati sekaligus sebagai taman di luar Astana Pakungwati)     

             

Makam Lawang (yang menjaga Balong Waru)




[1] Dwi Ari Listiyani, Sejarah 2 Untuk SMA/MA Kelas XI Program IPS, (Bandung: PPDPN, 2009), hal 53
[2] Ibid
[3] Nana Supriatna, Advanced Learning Histoy 2, ( Bandung: Grafindo, 2014 ), hal. 25
[4] A. Sobana Hardjasaputra, dkk, Cirebon  dalam  Lima  Zaman, (Bandung: DPKP Jawa Barat, 2011), hal. 45
[5] Abdul Ghofar AN, Mengaji pada Sunan Gunung Jati, (Cirebon:  Zulfana Cirebon), hal 61-62
[6] Abdul Ghofar AN, Mengaji pada Sunan Gunung Jati, (Cirebon:  Zulfana Cirebon), hal 61
[7] https://id.wikipedia.org/wiki/Balad,_Dukupuntang,_Cirebon
[8] https://id.wikipedia.org/wiki/Balad,_Dukupuntang,_Cirebon

2 komentar:

Situasi Kenabian

Situasi Kenabian Muhammad SAW 2.1 Situasi awal kenabian Muhammad SAW        Sebelum kelahiran Nabi Muhammad SAW, orang-orang arab sud...